Translate This Blog
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

kisah

KHALIFAH GILA ?

Memang betul, Khalifah Umar bin Khaththab telah
berubah ingatan. Banyak yang melihatnya dengan mata kepala sendiri.
Barangkali karena Umar di masa mudanya sarat dengan dosa, seperti
merampok, mabuk-mabukkan, malah suka mengamuk tanpa
berperikemanusiaan, sampai orang tidak bersalah banyak yang menjadi
korban. Itulah yang mungkin telah menyiksa batinnya sehingga ia
ditimpa penyakit jiwa.

Dulu Umar sering menangis sendirian sesudah selesai menunaikan
shalat. Dan tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak, juga sendirian.
Tidak ada orang lain yang membuatnya tertawa. Bukankah hal itu
merupakan isyarat yang jelas bahwa Umar bin Kaththab sudah gila?

Abdurrahman bin Auf, sebagai salah seorang sahabat Umar yang paling
akrab, merasa tersinggung dan sangat murung mendengar tuduhan itu.
Apalagi, hampirsemua rakyat Madinah telah sepakat menganggap Umar
betul-betul sinting. Dan, sudah tentu, orang sinting tidak layak lagi
memimpin umat atau negara.

Yang lebih mengejutkan rakyat, pada waktu melakukan shalat Jum'at
yang lalu, ketika sedang berada di mimbar untuk membacakan
khotbahnya, sekonyong-konyong Umar berseru, "Hai Sariah, hai
tentaraku. Bukit itu, bukit itu, bukit itu!" Jemaah pun geger. Sebab
ucapan tersebut sama sekali tidak ada kaitannyadengan isi khotbah
yang disampaikan. "Wah, khalifah kita benar-benar sudah gila," gumam
rakyat Madinah yang menjadi makmum shalat Jumat hari itu.

Tetapi Abdurrahman tidak mau bertindak gegabah, ia harus tahu betul,
apa sebabnya Umar berbuat begitu. Maka didatanginya Umar, dan
ditanyainya, "Wahai Amirul Mukminin. Mengapa engkau berseru-seru di
sela-sela khotbah engkau seraya pandangan engkau menatap kejauhan?"
Umar dengan tenang menjelaskan, "Begini, sahabatku. Beberapa pekan
yang lewat aku mengirimkan Suriah, pasukan tentara yang tidak
kupimpin langsung, untuk membasmi kaum pengacau. Tatkala aku sedang
berkhotbah, kulihat pasukan itu dikepung musuh dari segala penjuru.
Kulihat pula satu-satunya benteng untuk mempertahankan diri adalah
sebuah bukit dibelakang mereka. Maka aku berseru: bukit itu, bukit
itu, bukit itu!"

Setengah tidak percaya, Abdurrahman mengerutkan kening. "Lalu,
mengapa engkau dulu sering menangis dan tertawa sendirian selesai
melaksanakan shalat fardhu?" tanya Abdurrahman pula. Umar
menjawab, "Aku menangis kalau teringat kebiadabanku sebelum Islam.
Aku pernah menguburkan anak perempuanku hidup-hidup. Dan aku tertawa
jika teringat akan kebodohanku. Kubikin patung dari tepung gandum,
dan kusembah-sembah seperti Tuhan."

Abdurrahman lantas mengundurkan diri dari hadapan Khalifah Umar. Ia
belum bisa menilai, sejauh mana kebenaran ucapan Umar tadi. Ataukah
hal itu justru lebih membuktikan ketidakwarasannya sehingga
jawabannya pun kacau balau? Masak ia dapat melihat pasukannya yang
terpisah amat jauh dari masjid tempatnya berkhotbah?

Akhirnya, bukti itupun datang tanpa dimintanya. Yaitu manakala Sariah
yang dikirimkan Umar tersebut telah kembali ke Madinah. Wajah mereka
berbinar-binar meskipun nyata sekali tanda-tanda kelelahan dan bekas-
bekas luka yang diderita mereka. Mereka datang membawa kemenangan.

Komandan pasukan itu, pada hari berikutnya, bercerita kepada
masyarakat Madinah tentang dahsyatnya peperangan yang dialami
mereka. "Kami dikepung oleh tentara musuh, tanpa harapan akan dapat
meloloskan diri dengan selamat. Lawan secara beringas menghantam kami
dari berbagai jurusan. Kami sudah luluh lantak. Kekuatan kami nyaris
terkuras habis. Sampai tibalah saat shalat Jumat yang seharusnya kami
kejakan. Persis kala itu, kami mendengar sebuah seruan gaib yang
tajam dan tegas: "Bukit itu, bukit itu, bukit itu!" Tigakali seruan
tersebut diulang-diulang sehingga kami tahu maksudnya. Serta-merta
kami pun mundur ke lereng bukit. Dan kami jadikan bukit itu sebagai
pelindung di bagian belakang. Dengan demikian kami dapat menghadapi
serangan tentara lawan dari satu arah, yakni dari depan. Itulah awal
kejayaan kami."

Abdurrahman mengangguk-anggukkan kepala dengan takjub. Begitu pula
masyarakat yang tadinya menuduh Umar telah berubah ingatan.
Abdurrahman kemudian berkata, "Biarlah Umar dengan kelakuannya yang
terkadang menyalahi adat. Sebab ia dapat melihat sesuatu yang indera
kita tidak mampu melacaknya". (Dari buku Kisah Teladan - K.H.
Abdurrahman Arroisi)[Millis Kisah-kisah Islam]

Related Post:

0 comments:

Post a Comment


Anda berminat buat Buku Tamu seperti ini?
Klik disini